Senin, 10 Desember 2007

Riwayat Hidup

TAN MALAKA (1897-1949)

GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Tan Malakalengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.

Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun, pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)

BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG,

BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! (TAN MALAKA)

Minggu, 02 Desember 2007

TRAGEDI 1965 BERAWAL DARI TAHUN 1948

Oleh : Asvi Warman Adam

Menurut Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996), peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya dari segi jumlah korban yang cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan). Warisan kebencian itu yang masih tersisa dalam buku Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948 yang disunting Fadli Zon dan diluncurkan awal September 2005 di hotel Ambhara Jakarta bersamaan dengan diskusi yang digelar oleh Ridwan Saidi cs tentang peristiwa 1948 dan 1965.

Mengenai korban dari pihak santri bahkan para kiai tahun 1948 sudah sering disebut dalam buku pelajaran sejarah. Tetapi korban dari pihak kiri juga banyak sebagai-mana oleh Roeslan Abdulgani (Casperr Schuuring, Roeslan Abdulgani, Tokoh Segala Zaman, 2002). Roeslan menyaksikan pengadilan tidak resmi yang dilakukan oleh tentara. Beberapa orang dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi di depan mata Roeslan. Malamnya menurut Roeslan ia menangis keras. Demikian pula mantan Perdana Menteri Amir Syaridudin ditembak mati bersama beberapa tokoh kiri lainnya lainnya tanpa melalui pengadilan. begitu tega memakan anak-anaknya sendiri.

Di luar dua pandangan dari kutub ekstrem yakni kalangan militer (”Peristiwa Madiun 1948 adalah pengkhianatan PKI”) dan kelompok kiri (”Peristiwa Madiun 1948 adalah provokasi Hatta”), sudah muncul suara lain yang lebih jernih seperti Hersri Setiawan. Hersri sastrawan Lekra yang sempat bermukim di negeri Belanda, mempertanyakan apakah peristiwa Madiun itu “coup d’etat” atau “coup de ville”, upaya perebutan kekuasaan secara nasional atau hanya perlawanan pada tingkat kota/daerah ? (Negara Madiun ?, terbit 2002 dan dicetak ulang dengan revisi tahun 2003). Sudah diterjemahkan tulisan David Charles Anderson yang menyoal apakah peristiwa Madiun itu lebih tepat dilihat sebagai persoalan intern tentara (2003). Skripsi yang bagus dari Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah Pemberon-takan Madiun 1948 (terbit 1997) juga membahas persoalan ini.

Arsip Rusia mengenai aspek ini sudah dimanfaatkan oleh Larissa Efimova dalam artikelnya “Who gave instructions to Indonesian Communist Leader Muso in 1948″. Madiun 1948 tidak ada hubungan dengan Moscow.

Yang menarik adalah sebuah disertasi yang sedang ditulis oleh mahasiswa Indonesia pada School of Politics, University of Nottingham, Inggris yang mencoba melihat tragedi 1965 itu sebagai pertentangan kelas. Kelas priyayi (diwakili oleh tentara) bersekutu dengan santri dalam perseteruan melawan dan menghancurkan kelas abangan (komunis). Sebagian komandan tentara yang membasmi G30S/1965 adalah juga prajurit yang sudah berperan sama tahun 1948. Keterlibatan Banser NU dalam pengganya-ngan G30S/1965 antara lain karena tahun 1948 kerabat mereka termasuk korban.

Dimensi geografis

Bila sebelumnya tragedi 1965 seakan hanya berlangsung di pulau Jawa, maka kini sudah mulai terbit buku-buku tentang dampak peristiwa tersebut di daerah. Pembantaian di Bali tahun 1965 disinggung dalam buku I Ngurah Setiawan (Bali, Narasi dalam Kuasa, 2005). Dua artikel mengenai masalah 1965 di Nusa Tenggara Timur yang masing-masing ditulis Paul Webb dan Steven Farram diterjemahkan dan disatukan dalam sebuah buku “Di-PKI-Kan, Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur”. Dampak tragedi 1965 terhadap perempuan di Sumatera Barat ditulis oleh Yenny Narni, dosen sejarah Universitas Andalas Padang. Pembantaian di daerah Painan dilaporkan oleh Bakry Ilyas (alm). Sudah ada artikel lepas mengenai peristiwa 1965 di Sumatera Selatan antara lain ditulis seorang eksil di Swedia. Pengalaman seorang tapol di Sumatera Utara sudah terbit tetapi laporan secara menyeluruh mengenai daerah ini tampaknya belum dikerjakan.
Dipersembahkan kepada seluruh Korban Rezim Jenderal Soeharto.