Minggu, 02 Desember 2007

TRAGEDI 1965 BERAWAL DARI TAHUN 1948

Oleh : Asvi Warman Adam

Menurut Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996), peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya dari segi jumlah korban yang cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan). Warisan kebencian itu yang masih tersisa dalam buku Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948 yang disunting Fadli Zon dan diluncurkan awal September 2005 di hotel Ambhara Jakarta bersamaan dengan diskusi yang digelar oleh Ridwan Saidi cs tentang peristiwa 1948 dan 1965.

Mengenai korban dari pihak santri bahkan para kiai tahun 1948 sudah sering disebut dalam buku pelajaran sejarah. Tetapi korban dari pihak kiri juga banyak sebagai-mana oleh Roeslan Abdulgani (Casperr Schuuring, Roeslan Abdulgani, Tokoh Segala Zaman, 2002). Roeslan menyaksikan pengadilan tidak resmi yang dilakukan oleh tentara. Beberapa orang dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi di depan mata Roeslan. Malamnya menurut Roeslan ia menangis keras. Demikian pula mantan Perdana Menteri Amir Syaridudin ditembak mati bersama beberapa tokoh kiri lainnya lainnya tanpa melalui pengadilan. begitu tega memakan anak-anaknya sendiri.

Di luar dua pandangan dari kutub ekstrem yakni kalangan militer (”Peristiwa Madiun 1948 adalah pengkhianatan PKI”) dan kelompok kiri (”Peristiwa Madiun 1948 adalah provokasi Hatta”), sudah muncul suara lain yang lebih jernih seperti Hersri Setiawan. Hersri sastrawan Lekra yang sempat bermukim di negeri Belanda, mempertanyakan apakah peristiwa Madiun itu “coup d’etat” atau “coup de ville”, upaya perebutan kekuasaan secara nasional atau hanya perlawanan pada tingkat kota/daerah ? (Negara Madiun ?, terbit 2002 dan dicetak ulang dengan revisi tahun 2003). Sudah diterjemahkan tulisan David Charles Anderson yang menyoal apakah peristiwa Madiun itu lebih tepat dilihat sebagai persoalan intern tentara (2003). Skripsi yang bagus dari Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah Pemberon-takan Madiun 1948 (terbit 1997) juga membahas persoalan ini.

Arsip Rusia mengenai aspek ini sudah dimanfaatkan oleh Larissa Efimova dalam artikelnya “Who gave instructions to Indonesian Communist Leader Muso in 1948″. Madiun 1948 tidak ada hubungan dengan Moscow.

Yang menarik adalah sebuah disertasi yang sedang ditulis oleh mahasiswa Indonesia pada School of Politics, University of Nottingham, Inggris yang mencoba melihat tragedi 1965 itu sebagai pertentangan kelas. Kelas priyayi (diwakili oleh tentara) bersekutu dengan santri dalam perseteruan melawan dan menghancurkan kelas abangan (komunis). Sebagian komandan tentara yang membasmi G30S/1965 adalah juga prajurit yang sudah berperan sama tahun 1948. Keterlibatan Banser NU dalam pengganya-ngan G30S/1965 antara lain karena tahun 1948 kerabat mereka termasuk korban.

Dimensi geografis

Bila sebelumnya tragedi 1965 seakan hanya berlangsung di pulau Jawa, maka kini sudah mulai terbit buku-buku tentang dampak peristiwa tersebut di daerah. Pembantaian di Bali tahun 1965 disinggung dalam buku I Ngurah Setiawan (Bali, Narasi dalam Kuasa, 2005). Dua artikel mengenai masalah 1965 di Nusa Tenggara Timur yang masing-masing ditulis Paul Webb dan Steven Farram diterjemahkan dan disatukan dalam sebuah buku “Di-PKI-Kan, Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur”. Dampak tragedi 1965 terhadap perempuan di Sumatera Barat ditulis oleh Yenny Narni, dosen sejarah Universitas Andalas Padang. Pembantaian di daerah Painan dilaporkan oleh Bakry Ilyas (alm). Sudah ada artikel lepas mengenai peristiwa 1965 di Sumatera Selatan antara lain ditulis seorang eksil di Swedia. Pengalaman seorang tapol di Sumatera Utara sudah terbit tetapi laporan secara menyeluruh mengenai daerah ini tampaknya belum dikerjakan.
Dipersembahkan kepada seluruh Korban Rezim Jenderal Soeharto.

Tidak ada komentar: