Selasa, 23 Oktober 2007

TERLALU

Terlalu banyak orang-orang yang nakal dengan kenakalannya
Mencoba mendikte arti sebuah kebenaran
Padahal ia hanya seonggok sampah yang menyebarkan bau yang tak sedap
Memberikan ilusi hanya sekedar ilusi


Mungkin ia ingin memberikan tipuan kecil yang membuat orang lain tertawa
Tapi tidak untuk siapa pun yang mencoba menari di dalam riak-riak kegelisahan
Berlagak penguasa yang memiliki kekuasaan demi kekuasaan
Dunia hanya diam tanpa kata ketika ia berdusta


Ternyata, masih banyak manusia-manusia yang suka memakai topeng kemunafikan
Namun, lebih banyak lagi manusia-manusia bodoh yang diam dengan kebodohannya
Kemunafikan...
Kemunafikan yang semakin menjadi-jadi
Tak lekang oleh empati dan harga diri
Diam, seolah tak berdosa

Tengah hari, saat semua mata terpejam, kegelisahan semakin menjadi-jadi.Ku lihat, para pengemban kebenaran yang seharusnya benar, menjadi manusia-manusia nakal dengan kenakalannya.

Senin, 22 Oktober 2007

Pramodya Ananta Toer

Saya termasuk orang yang kurang beruntung mengenal Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disingkat Pram). Mungkin saya hanya salah seorang dari sekian banyak generasi muda Indonesia yang mengalami nasib sama: terhambat membaca karya-karya Pram. Jamak diketahui, iklim pendidikan dan politik selama Orde Baru tidak memberi celah sedikit pun untuk bisa menikmati karya-karya Pram. Indonesia adalah rumah kaca Orde Baru, dan Pram adalah musuh yang senantiasa diintai untuk dibantai.

Hassan Hanafi

Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.

Tidak Etis Umumkan Temuan

Rabu, 03 November 2004

Tidak Etis Umumkan Temuan
Liang Bua Tanpa Libatkan Indonesia

Jakarta, Kompas - Tidak etis hasil penelitian manusia kerdil dari Liang Bua alias Homo floresiensis diumumkan oleh peneliti Australia tanpa keterlibatan dan kehadiran peneliti dari Indonesia. Kerja sama penelitian itu seharusnya menguntungkan dan tidak sekadar memperlakukan Indonesia dengan kekayaan tinggalan budayanya sebagai lahan garapan.

Demikian kegusaran arkeolog Mundardjito, Ingrid HE Pojoh, dan Edi Sedyawati ketika dihubungi secara terpisah, Selasa (2/11). Sebelumnya, kelompok peneliti Australia mengumumkan dalam sebuah jumpa pers di Sydney tentang temuan di Liang Bua, Flores, yang merupakan kerja sama Australia dengan Indonesia.

Sejumlah koran besar, seperti Herald Tribune, New York Times, USA Today, The Asian Wall Street Journal, dan surat kabar nasional memuat berita temuan itu. Arkeolog RP Soejono yang membidani kerja sama dua negara dalam penelitian bahkan mengeluh karena tiba-tiba saja Australia mengumumkan penelitian, yang menurutnya belum sepenuhnya tuntas itu, tanpa kehadiran seorang pun peneliti Indonesia.

Mundarjito mengungkapkan, kerja sama seharusnya diatur agar menguntungkan kedua belah pihak. Dengan caranya tersebut, Australia terkesan tidak etis. Liang Bua merupakan situs cagar budaya milik negara dan mendapat perlindungan.

"Seharusnya negara tidak dirugikan, termasuk dalam hal publisitas. Bahkan, ketua tim peneliti semestinya dari negara tempat obyek penelitian. Selain itu, setiap ada wawancara, peneliti dari Indonesia yang berbicara," katanya.

Kasus Liang Bua menggambarkan betapa rendahnya posisi tawar peneliti di negeri sendiri. Hal itu antara lain dikarenakan semakin sedikitnya kepakaran bidang arkeologi. Dengan adanya kebijakan zero growth, tenaga doktor yang memadai menipis karena banyak yang pensiun. Selain itu, dana penelitian yang disediakan pemerintah pun sangat minim sehingga bantuan dari luar negeri dirasa penting.

Mundardjito mengingatkan, benda-benda cagar budaya itu bagian dari jati diri bangsa, sumber budaya nasional. "Jangan sampai orang belajar kekayaan bangsa kita justru dari orang asing atau negeri lain," katanya.

Harus sejajar

Pendapat serupa dilontarkan Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia Ingrid HE Pojoh. "Saya tidak tahu bagaimana perjanjian di antara kedua belah pihak sehingga Australia dapat mengumumkan tanpa didampingi peneliti Indonesia. Kalau itu kerja sama, setiap langkah seharusnya dengan sepengetahuan kedua belah pihak serta dilakukan bersama," katanya.

Bisa jadi, dari segi pembiayaan Australia berperan besar, tetapi dia mempertanyakan keetisan peneliti Australia bertindak demikian. Sebagai pemilik aset budaya itu, kejadian tersebut menyinggung kebanggaan nasional kita sebagai orang Indonesia.

Secara terpisah, arkeolog Edi Sedyawati mengatakan, dalam setiap kerja sama, kedudukan kedua pihak harus sejajar mulai dari perencanaan hingga publikasi.

"Ini harus dimengerti oleh para pejabat terkait dan peneliti karena pihak luar negeri pasti akan mencari celah-celah. Oleh karena itu, perlu kekompakan para peneliti," katanya.

Dia juga mengingatkan agar hasil galian yang diteliti sebisa mungkin tidak lari keluar negeri. Seandainya peralatan tidak mencukupi dan terpaksa dikirim ke laboratorium di luar negeri, harus ada perjanjian yang tegas dan jelas tentang pengembaliannya. (INE)

Mekanistik Manusia

Mekanistik Manusia

(Atheis Adalah Sesempurna-sempurnanya Iman)

Perbincangan malam ini sungguh memilukan, karena yang ikut bergabung hanya beberapa orang. Perbincangan yang mungkin saja dianggap tidak penting, tidak berguna, atau boleh jadi tidak ingin dimengerti. Inilah fakta umat saat ini, ketika berbicara tentang diri mereka sendiri (setiap muslim adalah satu tubuh) pun mereka enggan. Apalagi jika itu bukan yang menyangkut diri mereka. Padahal, setiap potongan masalah dari kehidupan ini pasti ada sumbangan noktah-noktah problematika kita. Pasti ada sumbangan kita walau setetes pada resultan historis dunia saat ini. Ya, itu semua karena kita makhluk mekanistik.

Makhluk mekanistikkah manusia? Itu adalah thesis yang dipertanyakan. Saya meyakini bahwa jawaban thesis itu 100% benar. Apakah saya memiliki alasan untuk mengatakan tidak benar? Tentunya tidak ada. Awal dari alasan saya adalah bahwa manusia merupakan resultan dari gaya-gaya, dari stimuli-stumuli, dari fenomena-fenomena, dari pengalaman-pengalamannya setiap detik, setiap hembusan nafas, bahkan di era konsepsinya di dalam rahim si ibu. Jadi, setiap manusia adalah unik. Setiap manusia akan terbentuk sesuai dengan apa yang diterimanya. Tidak akan ada yang bergeser dari kehidupannya, melainkan akibat dari stimuli yang didapatkannya selama hidup. Sehingga dapat kita katakan bahwa manusia terprediksi.

Muncul pertanyaan, bagaimana dengan konsep bahwa manusia bisa menentukan nasibnya? Manusia bukanlah kardus yang jika ia diberi gaya beberapa Newton, ia akan bergeser sesuai dengan gaya yang diberikan tersebut. Hal ini terjadi karena manusia memiliki akal. Manusia memang bisa menentukan pilihan, tetapi bagaimana ia menentukan sesuatu itu, didapatkannya dari pengalaman-pengalamannya sebelumnya. Dengan kata lain, ia bisa berpikir seperti itu karena resultan-resultan stimuli tadi yang membentuknya seperti itu. Artinya, setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda untuk bereaksi, dilihat dari resultan stimuli yang membentuknya. Berbeda dengan kardus yang secara potensi sama, sehingga ketika kardus yang memiliki kualitas yang sama jika diberikan input yang sama, maka output yang diberikan oleh kardus sama juga adanya. Akhirnya, bisa dijelaskan manusia tidak punya wewenang apa-apa dalam hidupnya.

Konsep Newtonian ini semakin terbukti keshahihannya ketika ada pertanyaan mengapa ada seseorang yang tidak mengalami apa-apa padahal suatu musibah telah menimpa dirinya. Harap diingat bahwa gaya yang yang terlalu kecil tidak akan berpengaruh signifikan terhadap resultan gaya sebelumnya. Begitu juga seseorang, hanya dapat berubah jika gaya yang diberikan padanya cukup besar atau kontinuitasnya tinggi. Tapi, dengan fenomena tadi tidak bisa dengan mudah dikatakan manusia tidak bisa merubah keadaannya. Ada suatu ketika dalam hidup manusia, resultan stimulinya yang akhirnya membentuk bongkahan kognisi yang akhirnya mampu untuk memilih sendiri stimuli mana yang harus dipilih atau yang diterima. Tentu saja hal ini akan terjadi jika resultan-resultan gaya kognisinya menggiringnya melakukan itu. Jika resultan yang ia miliki belum cukup maka ini tidak akan terjadi.

Konsep mekanistisnya manusia ini semakin menarik jika kita akhirnya beranjak pada pengukuran dan pemerediksian manusia. Sejenak kita akan mengetahui sangat sulit memprediksi manusia. Sebuah ketidakkonsistenan memang, di satu sisi dikatakan manusia tersusun atas rangakaian vektor-vektor pengalaman yang sudah pasti dapat diukur tapi di lain sisi pengukuran itu sungguh sulit dilakukan karena resultan vektor yang terjadi sangat rumit. . Ketidakmampuan ini sebenarnya terjadi karena hingga saat ini kita belum mampu mendeteksi besar dan arah vektor-vektor stimuli tadi. Andai saja kita bisa mendeteksinya maka dapat diasumsikan bahwa manusia akan bisa diprediksi tindakannya. Tentu saja bukan dalam hitung-hitungan yang sederhana karena ada jutaan variabel yang harus diperhitungkan. Hal ini terjadi karena resultan vektor-vektor tadi dibentuk sepanjang detik-detik hidupnya, mungkin itu yang selamanya ini kita sebut akal. Jadi, manusia sekarang menyatakan manusia tidak bisa diprediksi karena memiliki akal.

Padahal pemerediksian ini sebenarnya bisa, hanya karena resultan tadi sudah sangat banyak dipengaruhi vektor-vektor yang beraneka ragam sehingga seolah-olah ia tidak bisa diprediksi. Ini bisa dibuktikan dengan membandingkan tingkah laku bayi dengan manusia dewasa, bayi pasti akan lebih mudah diprediksi responnya dibandingkan manusia dewasa. Hal ini tentu saja disebabkan resultan vektor pada bayi masih sederhana. Sehingga peluang untuk ia bisa diprediksi semakin besar. Kesimpulannya hubungan antara prediksi respon manusia dengan resultan vektornya berkorelasi negatif.

Perbincangan ini akhirnya semakin menyadarkan kita bahwa mungkin saja keatheisan seseorang disebabkan oleh resultan-resultan tadi. Andai saja itu diarahkan pada kita, bisa jadi kita akhirnya menjadi atheis. Kuat dugaan saya, bahwasanya kita hanya beriman kepada Tuhan karena lingkungan kita memang mendukung kita untuk menjadi Theistik. Di sini, yang menjadi persoalan bukan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi siapa yang lebih baik pemahamannya tentang apa yang dipercayainya. Terus terang, dua sikap ini, atheis maupun theis, hanyalah persoalan keberimanan atau kepercayaan belaka. Bisa jadi, seorang atheis jauh lebih beriman dari pada orang beriman (kepada Tuhan), andai saja ia terus mencari kebenaran yang sejati untuk meyakinkan dirinya akan kepercayaan yang telah dipilihnya. Penulis adalah Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Indonesia.

Muhammad Akhyar, tengah malam Ramadhan di Sawangan, 22 september 2007

Rabu, 10 Oktober 2007

Buruh Bergerak

Setiap represi (dalam bidang apa pun) akan selalu memunculkan resistensi. Sebuah (dominasi) kekuasaan yang represif dalam realitas sejarah selalu saja akan berimplikasi bagi munculnya perlawanan atas tipologi kekuasaan tersebut. Artinya, sejarah selalu menjadi saksi betapa kekuasaan yang melakukan proses dominasi atas yang dikuasai, terutama melalui tindakan yang represif, akan menghadirkan pula berbagai resistensi yang dilakukan seseorang atau komunitas yang mendapat perlakuan represif dan hegemonik oleh kekuasaan (Santoso dkk, 2003:29). Buruh 'bergerak' adalah salah satu bentuk perlawanan tersebut.
Buruh bergerak adalah realitas yang tak kan kunjung redup, ketika hegemoni lebih menonjolkan bahasa kekuasaan dalam kekuasaannya. Kontra-hegemoni yang senantiasa dilakukan oleh buruh merupakan suatu bentuk kristalisasi dari kejenuhan yang kerap dirasakan. Penindasan dan ketidakadilan yang selalu dirasakan oleh buruh merupakan 'perselingkuhan' yang kerap menjadi aktivitas penguasa dengan para pemilik modal, yang selalu bersembunyi di balik sistem yang cenderung tidak memihak. Sistem yang memiliki celah untuk dimanipulasi juga menjadi penyebab bagi ketertindasan yang dirasakan oleh buruh.
Hassan Hanafi, seorang filsuf berkebangsaan Mesir yang mengenyam pendidikan di Perancis secara kritis berupaya membongkar penindasan manusia atas manusia melalui pemesinan manusia melalui produksi. Manusia dengan nama buruh dijadikan kerbau yang harus patuh kepada tuannya. Jam kerja cenderung mengambil nilai lebih tanpa tambahan upah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh mereka yang merasa berkuasa. Singkatnya, buruh 'tersisih dari kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Oleh karena itu, dimensi pembebasan harus senantiasa digulirkan untuk memajukan kondisi buruh yang termarginalkan. Buruh harus terus berggerak untuk kemudian melepaskan diri dari jerat yang kerap membelenggu, demi terwujudnya rasa keadilan. Bukan saatnya lagi buruh hanya bisa melakukan aksi-aksi demontrasi, sehingga pada akhirnya juga belum dapat menghadirkan angin segar bagi kesejahteraan buruh.
Format baru harus segera dicari untuk mengatasi hal ini. Banyak, tetapi seperti buih di lautan, bukanlah tipikal buruh yag saat ini haus ditonjolkan. Persatuan buruh atas nama idealisme perlawanan buruh tidak boleh lagi terkotak-kotak dengan berbagai bendera organisasi yang membelenggu pergerakannya. LAWAN dan BERSATULAH, demi satu asa yang menjadi impian.

Lebih baik terasing daripada menyerah kepada kemunafikan.....
Kami bersertamu Orang-orang yang malang......
(Soe Hok Gie)

Selasa, 09 Oktober 2007

Menikmati Keimanan

Menikmati Keimanan

Siang itu, suhu udara begitu panas. Hamparan pasir seakan-akan luas tak berujung. Seolah-olah, matahari berada tiga jengkal jari-jemari. Tubuh tak dapat menahan rasa panasnya mentari yang seakan tak bersahabat. Lebih parahnya lagi, hembusan angin yang mengalir, tak dapat banyak memberikan kesejukan yangs angat diharapkan. Ia malah menjadi pembalut panas bagi tubuh yang sudah mulai melemah.
Tubuh itu sepertinya tak kuasa lagi menahan panas. Entah berapa kali ia merebah di atas tumpukan pasir panas. Sesekali ia mencoba untuk bangun, namun saat itu juga ia kembali merebah. Sayatan demi sayatan panasnya matahri semakin menjadi-jadi.Tubuh yang memang hitam itu semakin hitam, hingga tak dapat lagi dapat dibedakan antara batu hitam yang menghimpit, dengan tubuh yang semakin melemah itu.
Namun, di tengah-tengah suasana perih itu, terdapat sebuah harapan baru yang mencoba senantiasa menyapa. Ia bukan malah menyesali. Senyum di bibirnya menyiratkan hal itu. Dari bibir keringnya, terucap sebuah kata yang bukan hanya sebuah kata. Sebuah kata yang kemudian memiliki makna yang teramat dalam. Dengannya, panas matahari dan tumpukan batu yang menghimpit tak menjadi sebuah persoalan, walaupun berulang kali tubuhnya merebah.
Melihat hal ini, manusia-manusia durjana yang berada di sekelilingnya serta merta menjadi terheran-heran, "Seharusnya ia sudah mati dari tadi", ungkap salah seorang di antara mereka. Sebuah peristiwa yang tak pernah disangka sebelumnya. Rencana jahat yang telah disusun, dan akan berakhir dramatis dan eksotis serta penuh dengan nilai-nilai cinta yang sejati.
Sementara itu, tubuh hitam itu kembali bangkit, tetapi berulang kali juga terlelap oleh panasnya matahari. Namun, bibir pemuda itu yang semakin kering, tidak pernah berhenti untuk mengucapkan kata-kata yang sangat dibenci oleh para manusia durjana di sekelilingnya. Pengaruh kata-kata itu begitu kuat, hingga ia menjadi kekuatan untuk bertahan menghadapi gelombang ketidakadilan yang saat itu dihadapinya.
Sosok hitam itu adalah seorang pemuda yang dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, mencoba untuk mempertahankan keyakinan yang ia yakini kebenarannya. Seorang budak hitam yang di kemudian hari dikenal sebagai salah seorang sahabat Rasulullah yang telah mendapat garansi setapak atau bahkan lebih hamparan surga yang luasnya tak dapat terkatakan lewat kata dan terpikirkan oleh logika. Ia sepertinya menikmati setiap siksaan yang ditujukan kepada setiap lekuk tubuh hitamnya. Ia tetap tegar dengan segala keterbatasan yang ada. Akhirnya, ia dilepaskan dengan jaminan oleh Abu Bakar.
Kebebasan dan keduniaan yang ia peroleh setelah pengalaman itu, ternyata tidak serta merta menjadikan dirinya berubah. Ia masih tetap memiliki komitmen yang kuat terhadap keyakinannya. Ketika ia ditanya mengenai kapan ia menikmati manisnya keimanan, ia bukan menjawab ketika ia dibebaskan dengan jaminan sehingga ia menjadi manusia yang merdeka. Ia juga bukan menjawab ketika ia menjadi gubernur dan menjadi pendamping seorang wanita yang sangat cantik. Tetapi dengan tegas ia menjawab, bahwa ia menikmati manisnya keimanan, ketika ia dihimpit oleh batu besar dan dijemur di bawah panasnya matahari. Betapa luar biasanya kehidupan manusia yang dibimbing langsung oleh Rasulullah, sang Nabi mulia, nabi akhir zaman. Semoga Allah SWT memberikan predikat dan tempat yang terbaik bagi mereka, dan kita menjadi orang-orang yang senantiasa mengikuti mereka. Wallahu 'alam......

Senin, 08 Oktober 2007

militerisme sejarah

Militerisme Sejarah di Indonesia

Oleh : Yopi Rachmad

Barisan barikade panser berjalan dengan kesombongan. Aroma keangkuhan sangat terasa dari serombongan tentara yang menjadikan panser sebagai ‘perisai’ ketika mereka memasuki kota Surabaya di belahan timur Pulau Jawa. Wajah-wajah tak memiliki belas kasihan tampak dari rona wajah mereka yang haus dengan darah manusia. Mereka terlihat sangat mencintai ketidakadilan. Melihat hal ini, serombongan pemuda nasionalis menganggap hal ini sebagai aksi yang mengganggu jalannya sebuah proses pembebasan, atas negeri yang baru saja diproklamasikan, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan dari segenap elemen bangsa Indonesia.

Di belahan bumi nusantara lainnya, kekerasan menjadi bahasa yang dianggap efektif untuk mencapai sebuah kesepakatan. Penentuan siapa pihak yang menang dan siapa yang kalah selalu menggunakan logika kekerasan dan kebencian. Tak urung, perlawanan pun bergejolak sebagai reaksi atas tindakan tak bersahabat para tentara sekutu, dan kota Medan pun dijadikan sebagai basis perlawanan terhadap kolonialis yang mencoba untuk sedikit ingin bermain-main dengan para kaum nasionalis yang sangat mendambakan kemerdekaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Fragmen di atas merupakan beberapa realitas yang selama ini menjadi sketsa sejarah Indonesia. Sejarah yang dipenuhi oleh serangkaian perlawanan bersenjata, antara pihak kolonialis dengan para pejuang. Pihak kolonialis berperan sebagai penjahat dan para pejuang sebagai pahlawan. Sebuah identitas yang coba dibangun untuk memberikan porsi lebih kepada sejarah dalam konteks militer atau militerisme sejarah di Indonesia. Cerita kepahlawanan yang heroik diasumsikan sebagai perjuangan yang berdarah-darah. Mereka yang menemui ajal pun akhirnya disebut sebagai pahlawan.

Fenomena ini menggambarkan betapa sejarah nasional saat ini lebih diwarnai oleh aksi-aksi militer yang dibingkai dengan nilai-nilai patriotisme. Perjuangan untuk melahirkan Negara Republik Indonesia identik dengan perjuangan para ponggawa militer. Mereka berjibaku dengan lantang, sehingga peran mereka dalam pergerakan nasional patut diberikan apresiasi yang menawan, dan hal ini menjadi stempel pembenaran bahwa untuk melahirkan negeri ini, perjuangan dilakukan hanya dengan senjata, dan militer memiliki peran yang dominan, sehingga adalah wajar apabila militer memiliki hak untuk dapat berperan lebih di Indonesia, dan itu terwujud melalui pelaksanaan dwifungsi ABRI pada masa orde baru.

Dengan penulisan sejarah yang lebih mengarah kepada militerisme sentris an sich, peran para martir sipil yang rela mengorbankan nyawanya di tengah-tengah geliat perjuangan kemerdekaan Republik ini dikesampingkan. Mereka dianggap tidak ada atau bahkan mungkin saja sengaja dihilangkan dari khazanah penulisan sejarah di Indonesia. Mereka menjadi manusia-manusia yang lelah tanpa pamrih – walaupun mereka tidak pernah mengharap pamrih – di pinggiran jalan penulisan sejarah panjang bangsa ini. Sebut saja peran orang-orang yang bertugas untuk menyampaikan surat-surat, dengan ancaman kehilangan nyawa yang mungkin ia dapatkan, mereka terus-menerus mengayuh sepedanya untuk menyampaikan atau pun menahan surat-surat yang membahayakan perjuangan.

Lain lagi halnya dengan wartawan-wartawan yang sibuk dengan aktivitas peliputan di tengah-tengah kancah pergerakan. Tanpa mereka, geliat perjuangan kemerdekaan di negeri ini tidak akan diketahui dunia internasional, sehingga Negara-negara lain yang lebih dahulu menikmati kemerdekaan, seperti Mesir dan India, memberikan dukungannya kepada Republik ini.

Ada satu hal yang fatal apabila hal ini terus berlanjut, bahwa generasi muda kita akan kehilangan sebahagian sejarahnya. Mereka tidak akan pernah mengenal dan memahami bahwa perjuangan bangsa ini tidak hanya melalui peran militer an sich. Mereka tidak akan mengenal seorang tokoh seperti Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo yang pada tahun 1963 dan 1964, diangkat sebagai pahlawan nasional. Namun, dalam buku Album Pahlawan Bangsa terbitan Mutiara Sumber Widya (2001), dengan kata sambutan direktur Urusan Kepahlawanan, Departemen Sosial, serta direktur Sarana Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di antara 109 pahlawan (yang mulai diangkat 1959 sampai 2001), nama mereka dihilangkan. Mereka adalah orang-orang yang juga memiliki jasa yang sesuai dengan defenisi Pahlawan menurut Peraturan Presiden No 33 Tahun 1964, dan tugas kita adalah menggambarkan sejarah Indonesia sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan, kordinator History Study Club (HSC)