Senin, 08 Oktober 2007

militerisme sejarah

Militerisme Sejarah di Indonesia

Oleh : Yopi Rachmad

Barisan barikade panser berjalan dengan kesombongan. Aroma keangkuhan sangat terasa dari serombongan tentara yang menjadikan panser sebagai ‘perisai’ ketika mereka memasuki kota Surabaya di belahan timur Pulau Jawa. Wajah-wajah tak memiliki belas kasihan tampak dari rona wajah mereka yang haus dengan darah manusia. Mereka terlihat sangat mencintai ketidakadilan. Melihat hal ini, serombongan pemuda nasionalis menganggap hal ini sebagai aksi yang mengganggu jalannya sebuah proses pembebasan, atas negeri yang baru saja diproklamasikan, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan dari segenap elemen bangsa Indonesia.

Di belahan bumi nusantara lainnya, kekerasan menjadi bahasa yang dianggap efektif untuk mencapai sebuah kesepakatan. Penentuan siapa pihak yang menang dan siapa yang kalah selalu menggunakan logika kekerasan dan kebencian. Tak urung, perlawanan pun bergejolak sebagai reaksi atas tindakan tak bersahabat para tentara sekutu, dan kota Medan pun dijadikan sebagai basis perlawanan terhadap kolonialis yang mencoba untuk sedikit ingin bermain-main dengan para kaum nasionalis yang sangat mendambakan kemerdekaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Fragmen di atas merupakan beberapa realitas yang selama ini menjadi sketsa sejarah Indonesia. Sejarah yang dipenuhi oleh serangkaian perlawanan bersenjata, antara pihak kolonialis dengan para pejuang. Pihak kolonialis berperan sebagai penjahat dan para pejuang sebagai pahlawan. Sebuah identitas yang coba dibangun untuk memberikan porsi lebih kepada sejarah dalam konteks militer atau militerisme sejarah di Indonesia. Cerita kepahlawanan yang heroik diasumsikan sebagai perjuangan yang berdarah-darah. Mereka yang menemui ajal pun akhirnya disebut sebagai pahlawan.

Fenomena ini menggambarkan betapa sejarah nasional saat ini lebih diwarnai oleh aksi-aksi militer yang dibingkai dengan nilai-nilai patriotisme. Perjuangan untuk melahirkan Negara Republik Indonesia identik dengan perjuangan para ponggawa militer. Mereka berjibaku dengan lantang, sehingga peran mereka dalam pergerakan nasional patut diberikan apresiasi yang menawan, dan hal ini menjadi stempel pembenaran bahwa untuk melahirkan negeri ini, perjuangan dilakukan hanya dengan senjata, dan militer memiliki peran yang dominan, sehingga adalah wajar apabila militer memiliki hak untuk dapat berperan lebih di Indonesia, dan itu terwujud melalui pelaksanaan dwifungsi ABRI pada masa orde baru.

Dengan penulisan sejarah yang lebih mengarah kepada militerisme sentris an sich, peran para martir sipil yang rela mengorbankan nyawanya di tengah-tengah geliat perjuangan kemerdekaan Republik ini dikesampingkan. Mereka dianggap tidak ada atau bahkan mungkin saja sengaja dihilangkan dari khazanah penulisan sejarah di Indonesia. Mereka menjadi manusia-manusia yang lelah tanpa pamrih – walaupun mereka tidak pernah mengharap pamrih – di pinggiran jalan penulisan sejarah panjang bangsa ini. Sebut saja peran orang-orang yang bertugas untuk menyampaikan surat-surat, dengan ancaman kehilangan nyawa yang mungkin ia dapatkan, mereka terus-menerus mengayuh sepedanya untuk menyampaikan atau pun menahan surat-surat yang membahayakan perjuangan.

Lain lagi halnya dengan wartawan-wartawan yang sibuk dengan aktivitas peliputan di tengah-tengah kancah pergerakan. Tanpa mereka, geliat perjuangan kemerdekaan di negeri ini tidak akan diketahui dunia internasional, sehingga Negara-negara lain yang lebih dahulu menikmati kemerdekaan, seperti Mesir dan India, memberikan dukungannya kepada Republik ini.

Ada satu hal yang fatal apabila hal ini terus berlanjut, bahwa generasi muda kita akan kehilangan sebahagian sejarahnya. Mereka tidak akan pernah mengenal dan memahami bahwa perjuangan bangsa ini tidak hanya melalui peran militer an sich. Mereka tidak akan mengenal seorang tokoh seperti Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo yang pada tahun 1963 dan 1964, diangkat sebagai pahlawan nasional. Namun, dalam buku Album Pahlawan Bangsa terbitan Mutiara Sumber Widya (2001), dengan kata sambutan direktur Urusan Kepahlawanan, Departemen Sosial, serta direktur Sarana Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di antara 109 pahlawan (yang mulai diangkat 1959 sampai 2001), nama mereka dihilangkan. Mereka adalah orang-orang yang juga memiliki jasa yang sesuai dengan defenisi Pahlawan menurut Peraturan Presiden No 33 Tahun 1964, dan tugas kita adalah menggambarkan sejarah Indonesia sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan, kordinator History Study Club (HSC)
               

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ayo berlomba-lomba meluruskan sejarah.........

andreas iswinarto mengatakan...

mohon maaf untuk yang satu ini

silah tengok 32 artikel edisi khusus kemerdekaan Majalah Tempo dan 14 buku online tan malaka di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/tan-malaka-bapak-republik-revolusi.html

semoga bermanfaat

salam hangat