Senin, 22 Oktober 2007

Tidak Etis Umumkan Temuan

Rabu, 03 November 2004

Tidak Etis Umumkan Temuan
Liang Bua Tanpa Libatkan Indonesia

Jakarta, Kompas - Tidak etis hasil penelitian manusia kerdil dari Liang Bua alias Homo floresiensis diumumkan oleh peneliti Australia tanpa keterlibatan dan kehadiran peneliti dari Indonesia. Kerja sama penelitian itu seharusnya menguntungkan dan tidak sekadar memperlakukan Indonesia dengan kekayaan tinggalan budayanya sebagai lahan garapan.

Demikian kegusaran arkeolog Mundardjito, Ingrid HE Pojoh, dan Edi Sedyawati ketika dihubungi secara terpisah, Selasa (2/11). Sebelumnya, kelompok peneliti Australia mengumumkan dalam sebuah jumpa pers di Sydney tentang temuan di Liang Bua, Flores, yang merupakan kerja sama Australia dengan Indonesia.

Sejumlah koran besar, seperti Herald Tribune, New York Times, USA Today, The Asian Wall Street Journal, dan surat kabar nasional memuat berita temuan itu. Arkeolog RP Soejono yang membidani kerja sama dua negara dalam penelitian bahkan mengeluh karena tiba-tiba saja Australia mengumumkan penelitian, yang menurutnya belum sepenuhnya tuntas itu, tanpa kehadiran seorang pun peneliti Indonesia.

Mundarjito mengungkapkan, kerja sama seharusnya diatur agar menguntungkan kedua belah pihak. Dengan caranya tersebut, Australia terkesan tidak etis. Liang Bua merupakan situs cagar budaya milik negara dan mendapat perlindungan.

"Seharusnya negara tidak dirugikan, termasuk dalam hal publisitas. Bahkan, ketua tim peneliti semestinya dari negara tempat obyek penelitian. Selain itu, setiap ada wawancara, peneliti dari Indonesia yang berbicara," katanya.

Kasus Liang Bua menggambarkan betapa rendahnya posisi tawar peneliti di negeri sendiri. Hal itu antara lain dikarenakan semakin sedikitnya kepakaran bidang arkeologi. Dengan adanya kebijakan zero growth, tenaga doktor yang memadai menipis karena banyak yang pensiun. Selain itu, dana penelitian yang disediakan pemerintah pun sangat minim sehingga bantuan dari luar negeri dirasa penting.

Mundardjito mengingatkan, benda-benda cagar budaya itu bagian dari jati diri bangsa, sumber budaya nasional. "Jangan sampai orang belajar kekayaan bangsa kita justru dari orang asing atau negeri lain," katanya.

Harus sejajar

Pendapat serupa dilontarkan Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia Ingrid HE Pojoh. "Saya tidak tahu bagaimana perjanjian di antara kedua belah pihak sehingga Australia dapat mengumumkan tanpa didampingi peneliti Indonesia. Kalau itu kerja sama, setiap langkah seharusnya dengan sepengetahuan kedua belah pihak serta dilakukan bersama," katanya.

Bisa jadi, dari segi pembiayaan Australia berperan besar, tetapi dia mempertanyakan keetisan peneliti Australia bertindak demikian. Sebagai pemilik aset budaya itu, kejadian tersebut menyinggung kebanggaan nasional kita sebagai orang Indonesia.

Secara terpisah, arkeolog Edi Sedyawati mengatakan, dalam setiap kerja sama, kedudukan kedua pihak harus sejajar mulai dari perencanaan hingga publikasi.

"Ini harus dimengerti oleh para pejabat terkait dan peneliti karena pihak luar negeri pasti akan mencari celah-celah. Oleh karena itu, perlu kekompakan para peneliti," katanya.

Dia juga mengingatkan agar hasil galian yang diteliti sebisa mungkin tidak lari keluar negeri. Seandainya peralatan tidak mencukupi dan terpaksa dikirim ke laboratorium di luar negeri, harus ada perjanjian yang tegas dan jelas tentang pengembaliannya. (INE)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

itu sangat menarik untuk dibaca. Saya ingin mengutip posting Anda di blog saya. Hal ini dapat? Dan Anda et account di Twitter?