Senin, 22 Oktober 2007

Mekanistik Manusia

Mekanistik Manusia

(Atheis Adalah Sesempurna-sempurnanya Iman)

Perbincangan malam ini sungguh memilukan, karena yang ikut bergabung hanya beberapa orang. Perbincangan yang mungkin saja dianggap tidak penting, tidak berguna, atau boleh jadi tidak ingin dimengerti. Inilah fakta umat saat ini, ketika berbicara tentang diri mereka sendiri (setiap muslim adalah satu tubuh) pun mereka enggan. Apalagi jika itu bukan yang menyangkut diri mereka. Padahal, setiap potongan masalah dari kehidupan ini pasti ada sumbangan noktah-noktah problematika kita. Pasti ada sumbangan kita walau setetes pada resultan historis dunia saat ini. Ya, itu semua karena kita makhluk mekanistik.

Makhluk mekanistikkah manusia? Itu adalah thesis yang dipertanyakan. Saya meyakini bahwa jawaban thesis itu 100% benar. Apakah saya memiliki alasan untuk mengatakan tidak benar? Tentunya tidak ada. Awal dari alasan saya adalah bahwa manusia merupakan resultan dari gaya-gaya, dari stimuli-stumuli, dari fenomena-fenomena, dari pengalaman-pengalamannya setiap detik, setiap hembusan nafas, bahkan di era konsepsinya di dalam rahim si ibu. Jadi, setiap manusia adalah unik. Setiap manusia akan terbentuk sesuai dengan apa yang diterimanya. Tidak akan ada yang bergeser dari kehidupannya, melainkan akibat dari stimuli yang didapatkannya selama hidup. Sehingga dapat kita katakan bahwa manusia terprediksi.

Muncul pertanyaan, bagaimana dengan konsep bahwa manusia bisa menentukan nasibnya? Manusia bukanlah kardus yang jika ia diberi gaya beberapa Newton, ia akan bergeser sesuai dengan gaya yang diberikan tersebut. Hal ini terjadi karena manusia memiliki akal. Manusia memang bisa menentukan pilihan, tetapi bagaimana ia menentukan sesuatu itu, didapatkannya dari pengalaman-pengalamannya sebelumnya. Dengan kata lain, ia bisa berpikir seperti itu karena resultan-resultan stimuli tadi yang membentuknya seperti itu. Artinya, setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda untuk bereaksi, dilihat dari resultan stimuli yang membentuknya. Berbeda dengan kardus yang secara potensi sama, sehingga ketika kardus yang memiliki kualitas yang sama jika diberikan input yang sama, maka output yang diberikan oleh kardus sama juga adanya. Akhirnya, bisa dijelaskan manusia tidak punya wewenang apa-apa dalam hidupnya.

Konsep Newtonian ini semakin terbukti keshahihannya ketika ada pertanyaan mengapa ada seseorang yang tidak mengalami apa-apa padahal suatu musibah telah menimpa dirinya. Harap diingat bahwa gaya yang yang terlalu kecil tidak akan berpengaruh signifikan terhadap resultan gaya sebelumnya. Begitu juga seseorang, hanya dapat berubah jika gaya yang diberikan padanya cukup besar atau kontinuitasnya tinggi. Tapi, dengan fenomena tadi tidak bisa dengan mudah dikatakan manusia tidak bisa merubah keadaannya. Ada suatu ketika dalam hidup manusia, resultan stimulinya yang akhirnya membentuk bongkahan kognisi yang akhirnya mampu untuk memilih sendiri stimuli mana yang harus dipilih atau yang diterima. Tentu saja hal ini akan terjadi jika resultan-resultan gaya kognisinya menggiringnya melakukan itu. Jika resultan yang ia miliki belum cukup maka ini tidak akan terjadi.

Konsep mekanistisnya manusia ini semakin menarik jika kita akhirnya beranjak pada pengukuran dan pemerediksian manusia. Sejenak kita akan mengetahui sangat sulit memprediksi manusia. Sebuah ketidakkonsistenan memang, di satu sisi dikatakan manusia tersusun atas rangakaian vektor-vektor pengalaman yang sudah pasti dapat diukur tapi di lain sisi pengukuran itu sungguh sulit dilakukan karena resultan vektor yang terjadi sangat rumit. . Ketidakmampuan ini sebenarnya terjadi karena hingga saat ini kita belum mampu mendeteksi besar dan arah vektor-vektor stimuli tadi. Andai saja kita bisa mendeteksinya maka dapat diasumsikan bahwa manusia akan bisa diprediksi tindakannya. Tentu saja bukan dalam hitung-hitungan yang sederhana karena ada jutaan variabel yang harus diperhitungkan. Hal ini terjadi karena resultan vektor-vektor tadi dibentuk sepanjang detik-detik hidupnya, mungkin itu yang selamanya ini kita sebut akal. Jadi, manusia sekarang menyatakan manusia tidak bisa diprediksi karena memiliki akal.

Padahal pemerediksian ini sebenarnya bisa, hanya karena resultan tadi sudah sangat banyak dipengaruhi vektor-vektor yang beraneka ragam sehingga seolah-olah ia tidak bisa diprediksi. Ini bisa dibuktikan dengan membandingkan tingkah laku bayi dengan manusia dewasa, bayi pasti akan lebih mudah diprediksi responnya dibandingkan manusia dewasa. Hal ini tentu saja disebabkan resultan vektor pada bayi masih sederhana. Sehingga peluang untuk ia bisa diprediksi semakin besar. Kesimpulannya hubungan antara prediksi respon manusia dengan resultan vektornya berkorelasi negatif.

Perbincangan ini akhirnya semakin menyadarkan kita bahwa mungkin saja keatheisan seseorang disebabkan oleh resultan-resultan tadi. Andai saja itu diarahkan pada kita, bisa jadi kita akhirnya menjadi atheis. Kuat dugaan saya, bahwasanya kita hanya beriman kepada Tuhan karena lingkungan kita memang mendukung kita untuk menjadi Theistik. Di sini, yang menjadi persoalan bukan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi siapa yang lebih baik pemahamannya tentang apa yang dipercayainya. Terus terang, dua sikap ini, atheis maupun theis, hanyalah persoalan keberimanan atau kepercayaan belaka. Bisa jadi, seorang atheis jauh lebih beriman dari pada orang beriman (kepada Tuhan), andai saja ia terus mencari kebenaran yang sejati untuk meyakinkan dirinya akan kepercayaan yang telah dipilihnya. Penulis adalah Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Indonesia.

Muhammad Akhyar, tengah malam Ramadhan di Sawangan, 22 september 2007

Tidak ada komentar: